2009-02-20

Majalah tambang: Indonesia Harus Segera Masuk Ke Underground Mining

Jakarta – TAMBANG. Produksi batubara Indonesia tahun ini mungkin bisa mencapai 260 juta ton. Dengan terus meningkatnya permintaan, tidak menutup kemungkinan jumlahnya mencapai 350 juta ton pada 2012. Jika 350 juta ton itu semuanya dari open pit (pertambangan terbuka), bisa dibayangkan berapa puluh ribu hektar lahan hutan yang harus dibuka? Belum lagi untuk pertambangan mineral.

Selama ini dilema antara sektor pertambangan dan kehutanan belum bisa terpecahkan secara baik. Kedua sektor itu terlihat sangat berseberangan, karena pertambangan yang menghasilkan devisa cukup besar pada negara, cenderung menimbulkan deforestisasi (pengalihan fungsi hutan).

Pemerintah pun selalu berada di dua kutub yang berlawanan. Di satu sisi negara masih membutuhkan tambang untuk modal pembangunan, di sisi lain berkewajiban menjaga hutan untuk masa depan anak bangsa. Akibatnya, kepentingan pertambangan dan kehutanan seolah selalu bertentangan, meski keduanya sama-sama ditujukan untuk kemakmuran bangsa dan negara.

Direktur Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Minerba Pabum, Mangantar S. Marpaung mengatakan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak menutup mata terhadap persoalan ini. Solusinya, mulai saat ini Indonesia sudah harus masuk atau paling tidak mulai men-exercise (menguji coba, red) pelaksanaan underground mining (pertambangan dalam).

Dia mengungkapkan, saat ini produksi mineral dan batubara Indonesia 95% dari open pit. Jika Indonesia tidak segera men-exercise underground mining, maka bisa dibayangkan luasnya lahan hutan yang harus dibuka. Untuk batubara saja, jika produksi Indonesia mencapai 350 juta ton pada 2012, maka lahan hutan yang harus dibuka mencapai 56.000 hektar. Belum lagi untuk pertambangan mineral seperti emas, nikel, bauksit, dan sebagainya.

Jika persentase penggunaan open pit dapat dikurangi digantikan dengan underground mining, paling tidak hutan kita yang bagus ini tidak terlalu luas yang rusak. “Saat ini adalah momen yang tepat untuk masuk ke underground mining, karena harga mineral dan batubara sedang tinggi,” ujar Marpaung. Investor tidak akan sayang mengeluarkan biaya lebih besar, karena mereka juga bakal mendapatkan keuntungan yang besar.

Seperti diketahui, teknologi underground mining (tambang bawah tanah) dikenal cukup spesifik serta memakan biaya jauh lebih besar dibandingkan penambangan open pit. Namun jika bisa dilaksanakan dengan baik, maka potensi kerusakan alam akibat aktivitas penambangan bisa ditekan secara maksimal. Karena hutan yang harus dibuka untuk dapat diambil bahan tambangnya tidak terlalu luas.

sumber di klik sini

2009-02-17

Penerapan Rencana Aksi-Reaksi Sistem Penyanggaan di Tambang Bawah Permukaan Satui PT. Arutmin Indonesia

I. LATAR BELAKANG

PT Arutmin Indonesia sebagai perusahaan tambang skala besar dengan produktifitas sebesar 15,7 jt ton pada tahun 2007 dan pelabuhan batubara skala internasional memiliki 4 lokasi tambang dan 1 pelabuhan utama (NPLCT ). Semua lokasi penambangan PT Arutmin Indonesia terletak di provinsi Kalimantan Selatan, mulai dari Asam-asam sampai ke Senakin.


Gambar 1. Lokasi PT Arutmin Indonesia

PT Arutmin Indonesia memiliki visi jangka panjang dalam upaya konservasi cadangan dengan telah memulai mengkaji potensi tambang bawah permukaan mulai tahun 1993. Proyek Tambang Bawah Permukaan Percobaan sejak tahun 2002 merupakan program perusahaan untuk mempelajari kelayakan teknis sebagai upaya di dalam memaksimalkan cadangan di daerah tambang terbuka yang berpotensi untuk dilakukan penambangan dengan sistem tambang bawah permukaan.


Gambar 2. Layout Portal
Pada akhir tahun 2007 proyek percobaan ini telah selesai dan berdasarkan pengalaman yang diperoleh, saat ini sedang disusun studi kelayakan tambang bawah permukaan di Senakin untuk menjadi tambang bawah permukaan yang layak secara teknis dan ekonomis.


Gambar 3. Kondisi Terowongan
Tambang bawah permukaan percobaan di Sajuna menggunakan sistem penyanggaan dengan menggunakan baut batuan atau baut kabel berkuat tarik besar sebagai penyangga primer. Penyangga sekunder berupa penambahan baut batuan dan atau Hiten , penyangga kayu dan penyangga besi baja akan dipasang sesuai dengan kondisi terowongan. Berawal dari adanya kecelakaan runtuhan atap pada tahun 2005, manajemen tambang bawah tanah permukaan Sajuna telah melakukan koreksi dan perbaikan menyeluruh terhadap sistem penyanggaan dan pemantauannya.

Investigasi keruntuhan atap telah mengungkap faktor-faktor penyebab kegagalan penyanggaan atap sebagai berikut:
1. Lebihnya beban mudstone antara lapisan batubara SL1 dan SM2 .
2. Adanya pengaruh tingginya tekanan air di lapisan batubara SM2.
3. Pengaruh sifat kelemahan strukturalnya sendiri.
4. Pengurangan ketebalan lapisan atap batubara menjadi 0,3m mengurangi retakan lapisan atap dan elastisitas penopang untuk menahan beban.
5. Keefektifan roof bolt berkurang karena sebagian roof bolt dijangkarkan pada mudstone.
6. Lebar terowongan yang diluar dari standar yang ditentukan
Sebagai hasil dari investigasi tersebut diusulkan beberapa rekomendasi yaitu:
1. Desain penyanggaan atap harus meliputi pembatasan dan pengurangan tekanan air terhadap beban mudstone.
2. Sistem penyanggaan harus dirumuskan berdasarkan kondisi terowongan dan perubahannya.
3. Menambah ketinggian jalan utama agar dapat menjangkarkan baut ke lapisan batubara SM2 akan menambah stabilitas atap.
4. Pengurangan jumlah baut kabel dapat dilakukan pada persimpangan dengan sistem penyangga utama yang lebih efektif.
5. Setidaknya 0,4m atap batubara diperlukan untuk memberikan confinement pada stone interburden.
6. Modul mesh sebaiknya digunakan untuk memberikan confinement dan mencegah ketidakteraturan atap batubara dimana struktur tersebut dipasang.
7. TARP sistem penyanggaan dan AMZ untuk menambah pengenalan dan kontrol bahaya yang perlu dikembangkan dan dilaksanakan di Rencana Manajemen Strata Satui.
8. Training resmi bagi pekerja dilaksanakan pada sistem ini (TARP) termasuk penilaian berkala.

II. TARP
TARP merupakan suatu prosedur yang mengatur aturan, tanggung jawab dan tindakan yang harus dilakukan oleh setiap karyawan tambang bawah tanah percobaan Satui. Prosedur ini sangat diperlukan untuk menjamin terpeliharanya kestabilan atap dan terowongan di tambang bawah permukaan secara berkesinambungan.
TARP disusun berdasarkan pengalaman di lapangan dan perhitungan keteknikan yang harus memenuhi beberapa parameter seperti di bawah ini:
1. Menjelaskan parameter-parameter kondisi dilapangan untuk dirumuskan dalam beberapa kategori terowongan.
2. Sistem penyanggaan diterapkan sesuai kondisi terowongan dan perubahan kondisinya
3. Pola dan desain penyanggaan harus dapat mencakup beberapa kondisi terowongan semaksimal mungkin
4. Setiap personel terkait harus mengerti dan dapat melaksanakan tanggung jawabnya seperti yang diatur dalam TARP
5. Deteksi dini dan reaksi seketika harus dapat terlaksana
6. Sistem monitoring dan evaluasi hasil monitoring dapat segera disimpulkan dan di terapkan dilapangan
7. Evaluasi terhadap TARP yang sudah ada harus berlangsung secara berkelanjutan sesuai pengalaman terhadap kondisi-kondisi baru dan kelemahan-kelemahan yang terjadi pada sistem
Dalam penyusunannya prosedur tanggap darurat (TARP) ini perlu melibatkan karyawan operasional, insinyur geo-teknik, insinyur tambang, ahli geo-teknik dan lain-lain. Faktor-faktor aktual yang ada sebelum prosedur ini di buat harus dipertimbangkan dan menjadi bahan masukan yang berharga dalam penyusunan TARP seperti data tell tale, data extensometer, lebar terowongan, data pull out test, dan lain-lain. Dengan demikian, maka prosedur yang disusun nantinya harus mudah dimengerti oleh karyawan yang terlibat langsung dalam kegiatan penerowongan sehingga pemasangan sistem penyanggaan dapat dilakukan dengan tepat dan efektif.
Insinyur tambang dan atau geo-teknik perlu memastikan bahwa sistem penyanggaan yang telah dipasang sudah sesuai dengan kriteria dan aturan yang ada. Prosedur tanggap darurat ini juga bersifat dinamis, yang artinya bahwa segala bentuk pengaruh dan faktor kestabilan terowongan yang baru ditemukan, harus dapat dimasukan ke dalam TARP.
TARP yang telah disusun dan disahkan harus segera disosialisasikan kepada karyawan yang terlibat langsung dalam proses penerowongan dan perawatan terowongan. Pengujian secara berkesinambungan terhadap pengetahuan para karyawan tersebut perlu dilakukan untuk menjamin telah dipahaminya aturan tersebut. TARP akan lebih baik ditempatkan pada tempat-tempat tertentu di terowongan dan dibagikan ke karyawan yang terlibat langsung untuk mempermudah dan menjamin penerapannya dengan benar. Inspeksi rutin perlu dilakukan untuk memastikan TARP telah diterapkan dengan benar dilapangan dan disusun laporan kondisi terowongan sesuai TARP.


Gambar 4. Diagram Alur Sistem Penyanggaan




III. PARAMETER DAN KATEGORI TEROWONGAN
Hasil dari perumusan TARP yang dilakukan oleh tim perumus yang terdiri dari bagian keteknikan, karyawan operasional dan konsultan mendefinisikan beberapa parameter untuk melakukan pengkategorian jenis terowongan.
Parameter-parameter tersebut diantaranya adalah :
1. Pengamatan secara visual dilapangan terhadap beberapa kriteria seperti kondisi water seepage, ketebalan dan bentuk perlapisan batuan, serta kekerasan batuan atap.
2. Lebar atap terowongan
3. Jarak dari centre line persimpangan ke sudut belokan
4. Hasil monitoring berupa tell tale dan extensometer
5. Hasil pengujian kuat tarik baut batuan ( pull out test)
Berdasarkan parameter diatas, kondisi terowongan di kategorikan menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Kondisi Hijau, merupakan kondisi paling baik dari terowongan
2. Kondisi Orange, kondisi terowongan yang kurang baik
3. Kondisi Merah, kondisi terowongan yang buruk
4. Kondisi Khusus, kondisi yang abnormal.
Parameter dan kategori jenis terowongan dapat dilihat pada lampiran 2.

IV. JENIS-JENIS PENYANGGA YANG DIGUNAKAN
Tambang bawah permukaan di Sajuna menggunakan sistem penyanggaan dengan menggunakan baut batuan atau baut kabel berkuat tarik besar sebagai penyangga primer. Prinsip penyanggaan setelah diterapkannya TARP di tambang adalah mendapatkan efek penggantungan dari baut batuan ataupun baut kabel yang dijangkarkan pada lapisan yang kompak (lapisan batubara SM2) minimal 45 cm untuk baut batuan dengan panjang 2,7m. Semakin jauh jarak SM2 dari atap terowongan, semakin panjang penjangkaran yang harus dilakukan di SM2 sesuai dengan beban immediate roof yang akan bertambah. Dengan kefleksibelan panjang dan kelenturannya, baut kabel akan digunakan sebagai penyangga primer apabila baut batuan yang ada tidak dapat menjangkau lapisan SM2. Baut batuan yang kaku tidak dapat dipasang apabila panjangya melebihi ketinggian terowongan. Penyangga sekunder berupa penambahan baut batuan dan atau baut kabel berkuat tarik besar, penyangga kayu dan penyangga besi baja akan dipasang sesuai dengan kondisi terowongan. Dibawah ini
adalah spesifikasi dari jenis penyangga yang digunakan di tambang bawah tanah Satui.

1. Baut Batuan Type Ulir dengan Pengikat Resin
Baut Batuan Type Ulir (Thread Bar) dapat digunakan sebagai penyangga primer ataupun sekunder. Baut ini juga dapat dipasang di atap ataupun di dinding. Sistem pengikatan baut adalah dengan menggunakan resin. Resin yang berbentuk kapsul akan dipasang pada setiap baut yang dipasang.
Ada beberapa jenis resin yang digunakan disesuaikan dengan kondisi air pada lubang bornya. Resin-resin tersebut dibedakan dengan warna untuk membedakan tipe resinnya baik itu tipe paling cepat kering, cepat kering, sedang, lambat,sangat lembat.Untuk kondisi yang basah Untuk memperoleh efek penggantungan yang optimal, maka panjang baut bervariasi sesuai ketebalan atap agar baut dapat dijangkarkan dengan pembungkusan resin minimal 45 cm di lapisan batubara SM2. Umumnya digunakan baut dengan panjang 2,4 dan 2,7m. Baut kabel berkuat tarik tinggi dipasang sebagai penyangga primer apabila lapisan batubara SM2 jaraknya lebih dari 2,1 m dari atap terowongan. Pada situasi ini baut batuan dengan panjang 2,1 m akan dipasang sebagai penyangga sementara sebelum baut kabel tersebut dipasang.
Berikut adalah spesifikasi dari baut batuan yang digunakan.
Tabel 1. Spesifikasi Baut Batuan

2. Baut Kabel Berkuat Tarik Besar (Hiten Cable Bolt)
Baut kabel berkuat tarik besar dipasang sebagai penyangga primer apabila lapisan batubara SM2 jaraknya lebih dari 2,1 m dari atap terowongan. Pada situasi ini baut batuan dengan panjang 2,1 m akan dipasang sebagai penyangga sementara sebelum baut kabel tersebut dipasang. Dengan sifat kelenturan dan keflesibelannya dalam panjang yang digunakan, baut kabel ini dapat dipasang untuk menjangkau lapisan SM2 tanpa harus mempertinggi dimensi terowongan. Baut kabel ini terdiri dari 21 buah wire strand dengan diameter 12mm untuk masing-masing wire.
Dibawah ini adalah spesifikasi baut kabel yang digunakan di tambang bawah tanah percobaan satui yang panjangnya disesuaikan dengan kondisi perlapisan.
Tabel 2. Spesifikasi Hiten Cable Bolt

3. Wire Mesh dan Double W Strap
Untuk meningkatkan kekompakan di daerah sekitar atap dan mencegah terjatuhnya bongkahan batuan berukuran kecil, maka akan di pasang mesh pada atap dan dinding. Double W Strap merupakan plat besi tipis dan panjang yang digunakan agar baut batuan atau baut kabel dapat dipasang pada satu garis. Plat ini juga dapat meningkatkan kekompakan batuan di daerah atap.
4. Penyangga Kayu
Penyangga kayu Kelas I dan II akan dipasang dalam bentuk single prop sampai ke penyangga cribbing pada lokasi-lokasi yang diperlukan. Sehubungan dengan keterbatasan persediaanya, maka penyangga kayu digunakan sebagai penyangga sekunder di daerah-daerah tertentu yang jarang di lalui peralatan.
5. Penyangga Baja
Pada tempat-tempat yang memiliki kestablian atapnya cukup rendah dan sulit untuk di atasi dengan baut batuan ataupun baut kabel, akan dipasang penyangga baja. Penyangga baja akan dipasang juga pada kondisi khusus dimana ditemui patahan dengan throw yang lebih dari 1 meter.

V. DESAIN SISTEM PENYANGGAAN UTAMA
Rencana manajemen strata dan TARP juga diperlukan termasuk pengawasan secara menyeluruh dan sistem assesment bahaya. Berikut ini adalah kalkulasi desain untuk sistem suspensi:
Berat strata yang akan ditahan per roof bolt:
WB = B.hlr.DR.25
nB
= 5,5 x 2.0 x 1,0 x 25 = 55kN
5
WB = berat immediate roof
B = lebar jalan
DR = Jarak antar baris baut batuan
Hlr = ketebalan lempengan atap
nB = jumlah roof bolt
Fmax = Kekuatan utama roof bolt


Faktor Keamanan Roof Bolt = Fmax = 250 = 4,5
Wb 55
Kekuatan Penjangkaran pada Lapisan batubara SM2

SB = Kekuatan pull out
Panjangnya penjangkaran
Dari pull out test yang dilakukan pada lapisan batubara SM2, kekuatan kuat tarik (pull out) rata 10,6 ton atau 104 kN dengan rata-rata panjang pengkapsulan 347,5mm.

SB = 104 kN = 0.3kN/mm
347,5mm

Jika ada baut yang dijangkarkan 0,45m ke lapisan batubara SM2 maka kekuatan penjangkaran adalah :
FA = LA x SB = 450 x 0,3 = 135 kN
Faktor keamanan dibandingkan dengan daya selip jangkar

FOSA = FA = 135 =2,45
WB 55

Pola penyanggaan harus sesuai dengan kategori terowongan sebagaimana halnya di atur dalam TARP. Salah satu contoh pola penyanggaan pada terowongan jalan yang diatur dalam TARP dapat dilihat pada lampiran 1.

IV. PERANGKAT MONITORING KESTABILAN ATAP
1. Tell Tale
Tell tale merupakan alat bantu untuk mengetahui penurunan lapisan atap secara manual. Alat ini mengandalkan pembacaan secara visual dengan ketelitian sebesar 1mm. Jenis tell tale yang digunakan di Satui adalah model Rock IT yang memiliki 4 jangkar. Keempat jangkar dipasang pada masing-masing lapisan di atap terowongan untuk mengetahui lapisan mana yang mengalami penurunan/ deformasi. Dengan mengetahui letak lapisan yang mengalami penurunan maka pemasangan penyangga sekunder baik berupa hiten, baut atau bahkan steel set akan disesuaikan sebagaimana diatur dalam TARP
2. Extensometer
Prinsip dasar extensometer sama dengan tell tale. Alat ini biasanya memiliki 20 buah jangkar untuk lubang sedalam 8 sampai 10m sehingga lokasi penurunan dapat lebih pasti. Pada jangkarnya terdapat magnet yang berfungsi agar posisi jangkar tersebut dapat terbaca oleh read out. Tingkat ketelitian alat ini adalah 1/1000mm
3. Daya ikat baut dan pengkapsulan
Daya ikat rata-rata baut batuan untuk batubara dan mudstone telah ditentukan dengan melakukan uji penarikan anchor pada mudstone dan lapisan batubara SM2. Ringkasan dari hasil seperti ditunjukkan pada gambar 1 mengindikasikan besarnya variasi daya ikat antara batubara dan mudstone dan lubang yang basah dan kering dengan mudstone interburden di dekat daerah runtuhan telah mengurangi kapabilitas daya ikat.
Kekuatan pull out pada lapisan batubara adalah 178% lebih tinggi, yaitu 3,1 ton/100mm atau 3 kN/mm. Beberapa pull test tidak berhasil, daya ikat rata-rata akan lebih tinggi dari 3 kN/mm. Untuk menghancurkan rock bolt berkekuatan 25 ton yang dijangkarkan pada batubara 700-800mm pengkapsulan mungkin diperlukan.


Gambar 5. Bond Strength Rata-Rata Pada Beberapa Lapisan
Dengan perbaikan sistem penyangaan ini, terdapat perubahan yang significant dari hasil pull out test. Perbedaan hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Perbedaan Hasil Uji Pull Out Test Sebelum dan Setelah Perbaikan Sistem Penyanggaan


V. LAPORAN ZONA PENAMBANGAN AKTIF (AMZ)
Sebagaimana hal nya TARP, Laporan Zona Penambangan Aktif (AMZ) perlu diterapkan untuk menjamin TARP telah dilaksanakan dengan benar oleh setiap gilir kerja. AMZ ini merupakan suatu format pelaporan yang mengakomodir semua ketidak selarasan dan ke abnormalan kondisi terowongan untuk dilaporkan dan di informasikan kepada gilir berikutnya. Selain itu, pelaporan ini mencakup pelaporan hasil pemantauan monitoring atap dan informasi lain yang sangat penting dan menunjang keselamatan karyawan dalam bekerja.

VI. SOSIALISASI DAN MONITORING PENERAPAN TARP
Beberapa kegiatan rutin dilakukan oleh bagian engineering untuk memastikan bahwa TARP sudah dimengerti dan dapat dilaksanakan dengan baik khususnya oleh miner yang bekerja di face. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya:
1. Mensosialisasikan dengan menjelaskan secara terperinci isi dari TARP termasuk pelatihan menyimpulkan kategori atap di lapangan dan pengujian terhadap karyawan.
2. Mensosialisasikan ulang setiap beberapa selang waktu.
3. Menempelkan dokumen TARP pada tempat-tempat penting di terowongan.
4. Melakukan evaluasi hasil monitoring penerapan TARP (pull out test, tell tale, extensometer dan pemantuan langsung dilapangan) setiap minggu dan mensosialisasikannya kepada karyawan secara langsung dalam suatu pertemuan.
5. Menjelaskan prediksi kategori atap yang akan dihadapi dalam satu minggu ke depan dengan menggunakan Hazard Map.
6. Selain prediksi kategori atap, hazard map juga menjelaskan kondisi kategori terowongan paling akhir.
7. Mengakomodir usulan-usulan dan mengkajinya kembali untuk perbaikan TARP yang sudah ada.

VII. KESIMPULAN
Dalam upaya menjaga kestabilan atap (strata control) adalah sangat penting dokumen sejenis TARP harus dibuat dan diterapkan sesuai kondisi geologi dan struktur di masing-masing lokasi tambang bawah permukaan. Sarana-sarana penunjang untuk penerapan TARP agar tersedia dengan baik. Evaluasi terhadap TARP yang sudah ada harus berlangsung secara berkelanjutan sesuai pengalaman terhadap kondisi-kondisi baru dan kelemahan-kelemahan yang terjadi pada sistem

DAFTAR PUSTAKA
1. ITB & Tekmira. Resistivity Measurement for Dewatering Project PT Arutmin, February 2006.
2. ITB & Tekmira 2006. Analisis Kestabilan Alternatif Dimensi Terowongan, Proyek Tambang Bawah Tanah Satui, PT Arutmin Indonesia, 2006
3. McCowan, Brian. The McCowan Consulting Report, Satui Underground Mine, Roof Fall Investigation and Roof Reinforcement Review – Report No. MC06012, Australia, 2006
4. PT Arutmin Indonesia. Trigger Action Response Plan Revision, PT Arutmin Satui Underground Mine, 2007

Tulisan ini pernah di presentasikan di Aula Barat ITB pada Seminar Nasional ISMC 6 2008.

2009-02-10

Perencanaan Tambang yang Ekonomis dan Berwawasan Konservasi Cadangan

I. LATAR BELAKANG
Dunia pertambangan batubara saat ini mulai melirik ke tambang bawah permukaan (underground), bahkan ESDM mendukung untuk alih teknologi dari tambang permukan (open pit) ke tambang bawah permukaan. Sesuai dengan kecenderungan lapisan batubara yang memiliki kemiringan (slope) maka semakin lama kedalaman batubara akan semakin dalam. Dengan demikian ongkos produksi open pit akan semakin meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya volume lapisan penutup yang harus dipindahkan. Selain faktor ongkos produksi, ada beberapa faktor lain yang menjadi pertimbangan mulai diliriknya underground. Hal -hal tersebut adalah semakin meningkat nya biaya untuk pembebasan lahan, adanya faktor landscape dari pemerintah, pinjam pakai dan lain-lain sesuai dengan lokasi, keadaan sosial masyarakat lingkar tambang serta kebijakan pemerintah daerah.
Tulisan ini membahas mengenai faktor ongkos produksi saja tidak memperhitungakan faktor-faktor lain sebagaimana telah diutarakan diatas. Apabila ongkos produksi open pit semakin meningkat sementara sumberdaya batubara di lokasi yang dimiliki perusahaan masih potensial, maka perlu kita ketahui kapan dan sampai dimana batasan open pit, dan kapan dan dimana underground akan menambah cadangan tertambang bagi perusahaan. Hal ini perlu kita ketahui sejak dini sebelum cadangan open pit mendekati habis karena ada kemunginan underground ternyata tidak ekonomis pada saat yang diharapkan karena cadangan batubara underground tidak bisa menutupi besarnya biaya investasi yang perlu dikeluarkan untuk pengembangan tambang underground (lihat gambar 1). Kejadian ini akan sangat terasa terutama pada perusahaan yang memiliki bentuk lokasi yang cenderung memanjang sesuai arah cebakan batubara.
Gambar 1. Penambangan Yang Tidak Berorientasi Konservasi Cadangan

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, pendekatan analisis keekonomian dengan metode yang sistematis perlu dilakukan untuk memperhitungkan batasan wilayah dimana kedua metode penambangan (open pit dan underground) memberikan keuntungan maksimum dan konservasi cadangan yang optimum bagi perusahaan.

II. BIAYA OPEN PIT
Striping Ratio (SR) adalah ratio antara lapisan penutup yang harus dipindahkan dengan batubara yang dihasilkan. Ini merupakan metode sederhana yang dapat digunakan apabila faktor-faktor yang mempengaruhi biaya ekstraksi dan pengolahan relatif konstan dan revenue yang diperoleh setiap blok sesuai dengan jumlah batubaranya.
Peringkat Biaya Marginal - Pada metode ini, peringkat didasarkan pada nilai biaya penambangan dan pengolahan pada setiap blok secara individual.
Gambar 2 menunjukan penampang melintang sebagai contoh sederhana peringkat biaya marginal. Biaya rata-rata dan biaya marginal untuk penambangan seam sampai bagian bawah dari dua bagian seam mulai dari strip pertama dapat dilihat di table 1. Dari contoh tersebut terlihat bahwa penambangan yang paling menguntungkan adalah cukup seam bagian atas sampai di strip ke empat, dan untuk strip selanjutnya dilakukan penambangan sampai seam terbawah.

Gambar 2. Penampang Melintang Pemeringkatan Biaya Marginal

Tabel 1. Biaya rata-rata dan marginal tambang



Dengan menggabungkan pembobotan antara biaya dan penilaian lain seperti SR akan memperlihatkan bobot biaya marginal yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan ekonomis dari suatu deposit. Harus dicatat bahwa, nilai uang, jadwal produksi dan nilai yield dari penambangan tidak termasuk/belum dimasukan dalam perhitungan.
III. BIAYA UNDERGROUND
Sampai saat ini teknik yang sistematis untuk membuat penilaian biaya marginal cadangan underground masih belum ada. Kita mengenal teknik Cut of Grade, namun itu hanya cocok untuk melakukan penilaian underground bijih bukan batubara.
Penilaian deposit underground batubara selama ini memerlukann formula rencana tambang yang memperlihatkan total batubara yang dapat dikeluarkan secara fisik dan teknikal dalam penilaian keekonomiannya.
Setelah desain tambang sudah siap, dilanjutkan dengan rencana produksi sesuai dengan beberapa macam scenario produksi. Biaya operasional dan kapital rata-rata kemudian di terapkan untuk mengitung cash flow. Analisis keekonomian bisa diperoleh dengan adanya cash flow tersebut yang sesuai dengan penentuan batasan-batasan yang ada.
Pada peta rencana tambang gambar dibawah telah ditentukan untuk produksi longwall sekitar 15 tahun ke depan. Untuk memperoleh ROR yang disyaratkan maka tambang harus dapat menghasilkan total ROM biaya operasional dibawah $35.00 per ROM tonne.
Layout jangka panjang telah di desain sesuai kondisi struktur batuan dan infrastruktur di permukaan sebagaimana terlihat di gmbr 3.
Gambar 3. Layout Tambang Underground


Berdasarkan dimensi terowongan, dimensi longwall, density batubara,diperoleh data sebagai berikut.
Overall ekstraksi 83.4 %
Development to LW ratio 1 : 13.51 (perbandingan tonase)
Asumsi biaya
Development $125.00 per Dev Ton
Longwall $16.00 per LW Ton
Outbye and others $9.00 per ROM Ton.
Total Operating Cost $32.50 per ROM Ton.
Akses untuk ke B memerlukan development main heading tambahan dan pembuatan tail gate baru. Biaya untuk membangun penambahan development ini dapat dilihat di table 3 dan diperoleh penambahan sebesar $7.10 per ROM tonne.
Kita ketahui sebelumnya bahwa biaya operasional untuk setiap blok longwall adalah $32.50 per ROM tonne. Total biaya untuk menambang area B adalah $39.60 per ROM tonne ($32.50 plus $7.10) yang lebih tinggi dari syarat ROR sebesar $35.00 per ROM tonne. Namun biaya operasional rata-rata total A & B $33.71 per ROM tonnes
Meskipun Area B tidak ekonomis untuk ditambang, namun biaya rata-rata keseluruhan menambang Area A dan B adalah $33.71 per ROM tonne, dimana nilai keekonomian area A akan berkurang oleh area B.
Untuk perusahaan yang saat ini telah memiliki tambang open pit yang aktif, yang harus dipertimbangkan adalah kapan tambang underground ataupun highwall mining dapat/ harus dimulai. Perlu diketahui bahwa metode highwall mining akan kurang applicable untuk diterapkan di Indonesia yang cendurung memiliki lapisan batubara dengan kemiringan yg lebih besar dari 5o, kondisi batuan yang lemah serta curah hujan yang tinggi.
IV. BIAYA KAPITAL UNDERGROUND
Proses pembobotan ini hanya memperhitungkan biaya operasional dan tidak memperhitungkan biaya capital. Dalam proses pembobotan biaya, tahap pertama adalah menentukan apakah reserves underground dilokasi cukup untuk menunjang biaya capital yang diperlukan untuk tipe penambangan underground kedepan. Apabila underground reservesnya tidak memungkinkan maka otomatis UG tidak akan ekonomis. Dengan demikian, biaya capital sebaiknya tidak dimasukan saat membandingkan peringkat biaya antara open pit saat ini dengan operasi underground. Biaya capital hanya berpengaruh pada penentuan minimum mineable reserve underground sesuai ROR yang disyaratkan.
Gambaran Batas Area Open Pit, underground dan Highwall Mining
Pembobotan biaya open pit dan underground dapat di terapkan untuk menentukan perkiraan batasan area antara open pit dan underground. Proses ini juga dapat memperlihatkan area mana yang tidak ekonomis dengan open pit dan underground. Biasanya daerah tersebut bisa dianalisis untuk ditambang dengan highwall mining. Pertimbangan lain perlu di identifikasi secara menyeluruh dalam rangka konservasi cadangan ini, seperti pertimbangan Total Positive Revenue, NPV, pertimbangan umur perijinan PKP2B, pinjam pakai kehutanan dll.
Total Positive Revenue. Misalkan aliran kas proses penambangan adalah positif dan jumlah recoverable resource setiap metode yang berbeda akan menghasilkan nilai yang berbeda pula. Table 2 mengggambarkan poin ini.
Tabel 2. Margin, Recovery dan total Revenue


Net Present Value (NPV). Nilai uang terhadap waktu pada aliran kas berdasarkan penjadwalan ekstraksi batubara dari margin. Sangat baik digunakan rate bunga (discount rate) yang tinggi.
Setelah kita mengetahui batas daerah masing-masing metode, kemudian harus kita memastikan penjdawalan produksinya dan hasilnya akan membantu dalam perhitungan keekonomian untuk penentuan desain tambang dan jadwal penambangan yang optimum. Setiap metode penambangan akan memiliki perbedaan tingkat produksi, mining recovery, nilai waktu terhadap uang harus juga dipertimbangkan. Dengan demikian, pembobotan tersebut dapat di kaji lagi dengan analisis discounted cash flow (DCF) untuk resultan nilai produksi. Gambar 4 menunjukan batas akhir open pit dan area dimana highwall mining dapat diterapkan serta hasil dari DCF analisis.
Gambar 4. Penggambaran area akhir metode penambangan sesuai jadwal produksi dan analisa DCF


Pada akhirnya, keputusan akhir setiap site atau lokasi mengenai perencanaan gabungan antara open pit, highwall dan underground akan berbeda-beda namun dengan metode yang kami utarakan mudah-mudahan menjadikan pendekatan yang cukup membantu.
Pustaka : A Systematic Methodology for Economically Delineating the Transition Between Opencut, Underground and Highwall Mining System. Runge Mining Australia, Pty. Ltd, October 1998.

BACK TO THE TOP